Mampukah kau berpisah dengannya?
Demikian pertanyaan
yang kuterima saat memboyong putraku ke kampung halaman, menemui sanak
keluarga, lebih khusus ibu yang tubuhnya kian melemah tergilas usia tua. Ai
demikian sapaan akrabku untuknya. Bukan tanpa alasan mengapa aku lebih memilih
dua huruf itu, Agama Islam, Anak Indonesia, Ayah-Ibu, merupakan akronim yang
berusaha aku lekatkan untuk itu. Berharap dari situ Ai kelak menjadi pribadi yang beridentitas dan berjuang untuk itu.
Seiring dengan pertumbuhannya, Ai kian menampakkan gairah hidupnya yang memikat (paling tidak untuk kami). Hobinya mengikuti beberapa nyanyian yang ia dengar, menyulam benih-benih kerinduan saat berjauhan. Teringat saat ibunya memboyong Ai ke sekolah, menyaksikan kekhusuyu’an para guru-siwa dalam penyelenggaraan upacara bendera di senin pagi. Sepulang kerumah, Ai dengan lincahnya memeragakan apa yang baru saja ia lihat dan dengar. Dari gaya gerak jalan pengibar bendera sang saka merah putih, hingga nyanyian kebangsaan yang mengiringinya.
Apa yang unik dari
semua itu? yah, dipenggalan lagu kebangsaan tepatnya. Penuh percaya diri ia
menggubah “Indonesia Bapak Eca”. Spontan pandanganku yang sedari tadi serius
mengamatinya, teriring pecahanan tawa tiada tarah.
Aku mulai membatin. Ai’
apa maksudnya nak? Sepertinya ia menangkap kegelisahanku. Ia berbalik, lalu
bertanya “bagus suaraku ayah toh?”. Sentilan-sentilan spontanitas itu membuatku
kian berdecak kagum. Aku mengacungkan dua jempol untuknya. Luar biasa nak!!!
Tak lama kemudian, Ai
mengibah untuk diayun, matanya mulai sayup, uapan-uapan yang teratur memberi
pesan kelelahan. Segera aku memboyongnya ke ayunan. Tak lama proses itu
berjalan, Ai kemudian hanyut dalam lelap tidurnya. Aku mulai merefleksi
kejadian barusan. Oh...oh, lagu yang barusan Ai nyanyikan, dimaknai dengan
pengetahuan dasar yang ia terima dari kampung halaman. Indo’ (ibu) adalah
sapaan Ai untuk neneknya. Sementara Bapak Eca bertalian dengan ayah teman
mainnya “Eca” di kompleks kediaman kami.
Sebuah pertalian yang
terkesan jauh dari substansi lagu kebangsaan, gumamku. Atau bisa jadi ini adalah
bentuk lokalisasi makna atas spirit lagu itu. Indo’ tanpa Bapak dirasa tidak
sempurna. Entah???
Kepada keluarga yang
bertanya kepadaku, aku tegaskan bahwa aku tak cukup kuat untuk berpisah dengan
Ai dalam waktu yang lama. Pukulan-pukulan genitnya yang kadang menyakitan,
suara tangisnya ketika menuntut kami bermain bersama, mengharuskan kami untuk
menanggalkan ego diri yang kadang lelah dan ingin beristirahat. Semua itu kami
tundukkan dalam satu keyakinan, bahwa masa ini akan berlalu, dan kelak akan
kami rindukan. Saat ketika kelak Ai tumbuh besar, dan akan menentukan jalan
hidupnya sendiri. Tanpa Ayah, ibu, nenek, dan keluarga yang lainnya.
Inilah masa yang akan mendedahkan
kerinduan. Masa dimana kami akan merindukan kebersamaan, merindukan
kemanjaannya, merindukan kepolosannya, pukulan-pukulan genitnya, tangis
manjanya, tawanya yang khas, penggalan lagunya yang tak beraturan.
Ai, God bless you
nak!!!
0 comments:
Post a Comment